Tuesday, 30 April 2013

Contoh Penyimpangan Sosial Bersifat Positif



Contoh Penyimpangan Sosial Positif


1.      Seorang Wanita Menjadi Sopir Bis
Ailan Marshall
Wanita berprofesi sebagai sopir truck di Amerika asal Indonesia. Datang pertama kali ke Amerika pada tahun 2000. Sebelum menjadi Sopir Truck Ia bekerja di sebuah restoran di Los Angeles. Ailan Kemudian menikah dengan pria
seorang mantan pilot bernama Lanny Marshall. Setelah pensiun, Lanny membeli sebuah truck untuk menjalankan bisnis mengantar barang.
Ailan ingin sekali membantu suaminya yang sudah tua dan sering sakit. Inilah yang mengawali Ailan kemudian berprofesi sebagai Sopir Truck.


2.      Kondektur Bus Wanita
Setelah beroperasi, Bus Trans Sarbagita  ( Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan) akan mempekerjakan perempuan sebagai kondektur. Hal ini disampaikan oleh  Kepala Dinas Perhubungan Bali Mad Santha kepada wartawan di Kantor Pemerintah Provinsi Bali, Kamis ( 4/ 8/2011).“ Syarat untuk wanita tingginya minimal 160 cm, badannya proporsional,” ujar Made Santha.Saat ini pihaknya sedang mengadakan pelatihan terhadap 30 calon tenaga sopir dan kondektur yang nantinya akan mengoperasikan unit bus Trans Sarbagita. Dalam tiap shift (jam kerja) nantinya akan bertugas sebanyak 15 orang. Yang lebih banyak adalah perumpuan yang berjumlah 18 orang dan sisanya adalah laki-laki. “Tahap pelatihan yang diikuti meliputi pelatihan di kelas dan pelatihan di lapangan. Dengan bakat yang mereka miliki kita harapkan mereka mampu menjadi pemandu baik terhadap penumpang domestik maupun mancanegara,” ujarnya. (eka)

3.      Tukang Ojek Wanita
Liputan6.com, Jakarta : "Kartini" kali ini adalah seorang ibu rumah tangga yang menjadi tukang ojek sejak tahun 2002. Widya ditinggal meninggal suaminya akibat kecelakaan, serta ditinggal anak perempuannya yang meninggal tahun 2011. Kondisi itu tak menyurutkan langkahnya untuk terus maju. Tukang ojek yang sehari-hari mangkal di pintu tol Serang Timur ini menjadi pelopor tukang-tukang ojek lainnya untuk mematuhi lalu lintas. Widya bukan wanita berpendidikan rendah. Dia seorang Sarjana Ekonomi yang rela membanting tulang dengan menjadi tukang ojek. Sebelumnya Widya kerja di Jakarta. Namun 2002 suaminya mengalami kecelakaan di Cirebon. Widaya akhirnya memutuskan tinggal di Serang. Profesi ini bermula saat Widya mencari uang tambahan untuk membiayai pengobatan suaminya. Awalnya dari mengantar sejumlah tetangga ke sekolah. Namun Tuhan berkata lain. Suaminya meninggal. Widya tak lantas putus harapan. Dengan ketiga anaknya Widya terus berupaya menjadi kepala rumah tangga.  Namun tahun 2011 duka menghampirinya kembali. Anak perempuannya meninggal karena sakit jantung. Kini Widya tinggal bersama dua anak laki-lakinya di komplek Lebak Indah, Trondol, kota Serang. Perjuangan hidup untuk menyekolahkan anaknya terus dilakukan dengan cara mengojek. Bahkan diantara kawan-kawan se profesinya Widya diberi semangat. Wanita berumur 46 ini sejak pagi hingga sore mendapatkan uang dari mengojek sebesar Rp 30-40 ribu perhari. Tentu ini menjadi cambukan hidup Widya untuk membesarkan anak-anaknya. Uang hasil mengojek masih sempat ditabung. Cita-cita lain Widya membuka warung di tempat pangkalan ojek. Ini tentu membantu pengojek lain bisa membeli makanan kecil dan kopi.

4.      Tukang Tambal Ban di Bawah Umur
Seorang Bocah 10 Tahun Yang Menjadi Tukang Tambal Ban Truk
Dia terlalu kecil untuk melakukan pekerjaan berat di bengkel pamannya, tapi hal itu tidak membuatnya berhenti, seorang anak berusia 10 tahun Wang Junjie terpaksa harus menjadi tukang tambal ban truk setelah keluar dari sekolah. Wang Junjie tinggal di Propinsi Guizhou dan melakukan ini karena kondisi keluarganya yang tidak mampu untuk menyekolahkannya. Melihat usianya belumlah pantas jika bocah usia 10 tahun yang masih mungil ini harus membongkar ban sebuah truk untuk ditambal, selain faktor usia faktor kemanusiaanpun rasanya sangatlah kurang pantas, karena seperti halnya bocah seusianya masih harus menuntut pendidikan di sekolah untuk masa depan mereka. Mungkin nasib Wang Junjie nama bocah itu tidak semujur teman-temannya yang lain, Wang adalah putus sekolah yang diakbibatkan faktor ekonomi dan alasan sekolahnya yang mengeluarkannya karena dinilai hasil akademis pelajaran yang jelek. Dikutip dari dailymail.co.uk menceritakan, bocak cilik yang tinggal di Propinsi Guizhou Cina ini akhirnya bekerja menjadi tukang tambal ban mobil dan truk di bengkel pamannya.

5.      Pekerja di Bawah Umur
TEMPO.CO , Purbalingga: Meski belum ada angka pasti, jumlah pekerja anak-anak yang masuk dalam usia wajib belajar sembilan tahun di Purbalingga diperkirakan terus mengalami kenaikan. Jika tak segera ditangani, masalah tersebut dikhawatirkan akan menjadi bom waktu. “Pengembangan sumber daya manusia di Purbalingga bisa terhambat,” kata Wakil Bupati Purbalingga, Sukento Ridho, Kamis, 20 September 2012. Ia mengatakan, selama ini banyak anak putus sekolah yang memilih bekerja di plasma industri rambut dan bulu mata palsu Purbalingga. Industri plasma merupakan industri rumahan penyokong puluhan industri besar yang ada di Purbalingga.Menurut dia, Kabupaten Purbalingga akan membahas masalah tersebut agar tingginya angka putus sekolah usia SLTP bisa dikurangi. “Secepatnya akan kami bahas, sebab kalau tidak bisa menjadi bom waktu,” kata dia.Ia mengatakan, pihaknya tidak bisa begitu saja meminta industri rambut dan bulu mata palsu di wilayahnya untuk menghentikan model plasma dalam memenuhi kebutuhan produksinya. Dia menyebutkan kontribusi industri rambut dan bulu mata palsu, secara tidak langsung telah memberi kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah.  ''Bahkan selama ini, Purbalingga telah diidentikkan sebagai penghasil rambut dan bulu mata palsu, selain juga dikenal sebagai daerah industri knalpot dalam negeri,'' katanya.
Menurut Sukento, keberadaan industri plasma pembuat rambut dan bulu mata palsu, juga telah banyak memberi keuntungan bagi masyarakat. Dengan sifat industrinya yang cenderung padat karya, maka tenaga kerja yang terserap dalam sektor industri tersebut juga menjadi cukup besar.''Dengan keberadaan plasma-plasma tersebut, maka masyarakat di pedesaan bisa mendapat penghasilan tambahan di luar hasil pertanian yang mereka budidayakan. Yang jadi persoalan sekarang, adalah bagaimana mengeliminasi dampak negatifnya agar plasma-plasma tersebut tidak mempekerjakan anak-anak usia sekolah,'' kata dia.Menurut dia, masalah pendidikan bagi anak-anak usia sekolah, tetap harus mendapat perhatian utama. Apalagi, hanya sebatas untuk wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. ''Kalau kelak banyak SDM Purbalingga yang sekolah di tingkat SMP saja tak tamat, tentu hal ini akan sangat merugikan Purbalingga. Untuk itu, kita menaruh perhatian sangat serius pada masalah ini,'' katanya. Ketua Dewan Pendidikan Purbalingga Sudino mengatakan, di Purbalingga masih tinggi angka putus sekolah. Hanya saja ia mengaku lupa berapa angka putus sekolah di daerah itu. “Saya akui, tingginya angka putus sekolah di kalangan anak usia SMP, karena mereka memilih bekerja di plasma-plasma industri rambut dan bulu mata palsu,” kata dia.

0 komentar:

Post a Comment