1.
Seorang Wanita
Menjadi Sopir Bis
Ailan Marshall
Wanita berprofesi sebagai sopir truck di Amerika asal Indonesia.
Datang pertama kali ke Amerika pada tahun 2000. Sebelum menjadi Sopir Truck Ia
bekerja di sebuah restoran di Los Angeles. Ailan Kemudian menikah dengan pria
seorang mantan pilot bernama Lanny Marshall. Setelah pensiun, Lanny membeli sebuah truck untuk menjalankan bisnis mengantar barang.
Ailan ingin sekali membantu suaminya yang sudah tua dan sering sakit. Inilah yang mengawali Ailan kemudian berprofesi sebagai Sopir Truck.
seorang mantan pilot bernama Lanny Marshall. Setelah pensiun, Lanny membeli sebuah truck untuk menjalankan bisnis mengantar barang.
Ailan ingin sekali membantu suaminya yang sudah tua dan sering sakit. Inilah yang mengawali Ailan kemudian berprofesi sebagai Sopir Truck.
2.
Kondektur Bus
Wanita
Setelah beroperasi, Bus Trans
Sarbagita ( Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan) akan mempekerjakan
perempuan sebagai kondektur. Hal ini disampaikan oleh Kepala Dinas Perhubungan Bali Mad
Santha kepada wartawan di Kantor Pemerintah Provinsi Bali, Kamis ( 4/ 8/2011).“ Syarat untuk wanita tingginya minimal 160 cm, badannya
proporsional,” ujar Made Santha.Saat ini pihaknya sedang mengadakan pelatihan
terhadap 30 calon tenaga sopir dan kondektur yang nantinya akan mengoperasikan
unit bus Trans Sarbagita. Dalam tiap shift (jam kerja) nantinya akan bertugas
sebanyak 15 orang. Yang lebih banyak adalah perumpuan yang berjumlah 18 orang
dan sisanya adalah laki-laki. “Tahap pelatihan yang
diikuti meliputi pelatihan di kelas dan pelatihan di lapangan. Dengan bakat
yang mereka miliki kita harapkan mereka mampu menjadi pemandu baik terhadap
penumpang domestik maupun mancanegara,” ujarnya. (eka)
3.
Tukang Ojek Wanita
Liputan6.com, Jakarta : "Kartini" kali ini adalah seorang ibu
rumah tangga yang menjadi tukang ojek sejak tahun 2002. Widya ditinggal
meninggal suaminya akibat kecelakaan, serta ditinggal anak perempuannya yang
meninggal tahun 2011. Kondisi itu tak menyurutkan langkahnya untuk terus maju.
Tukang ojek yang sehari-hari mangkal di pintu tol Serang Timur ini menjadi
pelopor tukang-tukang ojek lainnya untuk mematuhi lalu lintas. Widya bukan
wanita berpendidikan rendah. Dia seorang Sarjana Ekonomi yang rela membanting
tulang dengan menjadi tukang ojek. Sebelumnya Widya kerja di Jakarta. Namun
2002 suaminya mengalami kecelakaan di Cirebon. Widaya akhirnya memutuskan
tinggal di Serang. Profesi ini bermula saat Widya mencari uang tambahan untuk
membiayai pengobatan suaminya. Awalnya dari mengantar sejumlah tetangga ke
sekolah. Namun Tuhan berkata lain. Suaminya meninggal. Widya tak lantas putus
harapan. Dengan ketiga anaknya Widya terus berupaya menjadi kepala rumah
tangga. Namun tahun 2011 duka
menghampirinya kembali. Anak perempuannya meninggal karena sakit jantung. Kini
Widya tinggal bersama dua anak laki-lakinya di komplek Lebak Indah, Trondol,
kota Serang. Perjuangan hidup untuk menyekolahkan anaknya terus dilakukan
dengan cara mengojek. Bahkan diantara kawan-kawan se profesinya Widya diberi
semangat. Wanita berumur 46 ini sejak pagi hingga sore mendapatkan uang dari
mengojek sebesar Rp 30-40 ribu perhari. Tentu ini menjadi cambukan hidup Widya
untuk membesarkan anak-anaknya. Uang hasil mengojek masih sempat ditabung.
Cita-cita lain Widya membuka warung di tempat pangkalan ojek. Ini tentu
membantu pengojek lain bisa membeli makanan kecil dan kopi.
4. Tukang Tambal Ban di Bawah Umur
Seorang
Bocah 10 Tahun Yang Menjadi Tukang Tambal Ban Truk
Dia terlalu kecil untuk
melakukan pekerjaan berat di bengkel pamannya, tapi hal itu tidak membuatnya
berhenti, seorang anak berusia 10 tahun Wang Junjie terpaksa harus menjadi
tukang tambal ban truk setelah keluar dari sekolah. Wang Junjie tinggal di
Propinsi Guizhou dan melakukan ini karena kondisi keluarganya yang tidak mampu
untuk menyekolahkannya. Melihat
usianya belumlah pantas jika bocah usia 10 tahun yang masih mungil ini harus
membongkar ban sebuah truk untuk ditambal, selain faktor usia faktor
kemanusiaanpun rasanya sangatlah kurang pantas, karena seperti halnya bocah
seusianya masih harus menuntut pendidikan di sekolah untuk masa depan mereka. Mungkin nasib Wang Junjie nama bocah
itu tidak semujur teman-temannya yang lain, Wang adalah putus sekolah yang
diakbibatkan faktor ekonomi dan alasan sekolahnya yang mengeluarkannya karena
dinilai hasil akademis pelajaran yang jelek. Dikutip dari dailymail.co.uk
menceritakan, bocak cilik yang tinggal di Propinsi Guizhou Cina ini akhirnya
bekerja menjadi tukang tambal ban mobil dan truk di bengkel pamannya.
5.
Pekerja di Bawah
Umur
TEMPO.CO , Purbalingga:
Meski belum ada angka pasti, jumlah pekerja anak-anak yang masuk dalam usia
wajib belajar sembilan tahun di Purbalingga diperkirakan terus mengalami
kenaikan. Jika tak segera ditangani, masalah tersebut dikhawatirkan akan
menjadi bom waktu. “Pengembangan sumber daya manusia di Purbalingga bisa
terhambat,” kata Wakil Bupati Purbalingga, Sukento Ridho, Kamis, 20 September
2012. Ia mengatakan, selama ini banyak anak putus sekolah yang memilih bekerja
di plasma industri rambut dan bulu mata palsu Purbalingga. Industri plasma
merupakan industri rumahan penyokong puluhan industri besar yang ada di Purbalingga.Menurut
dia, Kabupaten Purbalingga akan membahas masalah tersebut agar tingginya angka
putus sekolah usia SLTP bisa dikurangi. “Secepatnya akan kami bahas, sebab
kalau tidak bisa menjadi bom waktu,” kata dia.Ia mengatakan, pihaknya tidak
bisa begitu saja meminta industri rambut dan bulu mata palsu di wilayahnya
untuk menghentikan model plasma dalam memenuhi kebutuhan produksinya. Dia
menyebutkan kontribusi industri rambut dan bulu mata palsu, secara tidak langsung
telah memberi kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah. ''Bahkan selama ini, Purbalingga telah
diidentikkan sebagai penghasil rambut dan bulu mata palsu, selain juga dikenal
sebagai daerah industri knalpot dalam negeri,'' katanya.
Menurut Sukento, keberadaan industri plasma pembuat rambut dan bulu mata palsu, juga telah banyak memberi keuntungan bagi masyarakat. Dengan sifat industrinya yang cenderung padat karya, maka tenaga kerja yang terserap dalam sektor industri tersebut juga menjadi cukup besar.''Dengan keberadaan plasma-plasma tersebut, maka masyarakat di pedesaan bisa mendapat penghasilan tambahan di luar hasil pertanian yang mereka budidayakan. Yang jadi persoalan sekarang, adalah bagaimana mengeliminasi dampak negatifnya agar plasma-plasma tersebut tidak mempekerjakan anak-anak usia sekolah,'' kata dia.Menurut dia, masalah pendidikan bagi anak-anak usia sekolah, tetap harus mendapat perhatian utama. Apalagi, hanya sebatas untuk wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. ''Kalau kelak banyak SDM Purbalingga yang sekolah di tingkat SMP saja tak tamat, tentu hal ini akan sangat merugikan Purbalingga. Untuk itu, kita menaruh perhatian sangat serius pada masalah ini,'' katanya. Ketua Dewan Pendidikan Purbalingga Sudino mengatakan, di Purbalingga masih tinggi angka putus sekolah. Hanya saja ia mengaku lupa berapa angka putus sekolah di daerah itu. “Saya akui, tingginya angka putus sekolah di kalangan anak usia SMP, karena mereka memilih bekerja di plasma-plasma industri rambut dan bulu mata palsu,” kata dia.
Menurut Sukento, keberadaan industri plasma pembuat rambut dan bulu mata palsu, juga telah banyak memberi keuntungan bagi masyarakat. Dengan sifat industrinya yang cenderung padat karya, maka tenaga kerja yang terserap dalam sektor industri tersebut juga menjadi cukup besar.''Dengan keberadaan plasma-plasma tersebut, maka masyarakat di pedesaan bisa mendapat penghasilan tambahan di luar hasil pertanian yang mereka budidayakan. Yang jadi persoalan sekarang, adalah bagaimana mengeliminasi dampak negatifnya agar plasma-plasma tersebut tidak mempekerjakan anak-anak usia sekolah,'' kata dia.Menurut dia, masalah pendidikan bagi anak-anak usia sekolah, tetap harus mendapat perhatian utama. Apalagi, hanya sebatas untuk wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. ''Kalau kelak banyak SDM Purbalingga yang sekolah di tingkat SMP saja tak tamat, tentu hal ini akan sangat merugikan Purbalingga. Untuk itu, kita menaruh perhatian sangat serius pada masalah ini,'' katanya. Ketua Dewan Pendidikan Purbalingga Sudino mengatakan, di Purbalingga masih tinggi angka putus sekolah. Hanya saja ia mengaku lupa berapa angka putus sekolah di daerah itu. “Saya akui, tingginya angka putus sekolah di kalangan anak usia SMP, karena mereka memilih bekerja di plasma-plasma industri rambut dan bulu mata palsu,” kata dia.
0 komentar:
Post a Comment